Jumat, 21 Mei 2010

MIPA = 'M''I'skin 'P'rospek kerj'A'?

Ketika kita hendak memilih jurusan di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, kita akan menemukan satu fakultas yang berisi jurusan-jurusan atau departemen-departemen ilmu murni, seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan juga Farmasi. Di beberapa universitas, fakultas ini memiliki jurusan tambahan seperti Ilmu Komputer, Statistik, dan Instrumentasi. Fakultas tersebut adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).

Fakultas MIPA adalah fakultas yang terfokus pada konsep keilmuan secara murni dan mendalam di bidang pada masing-masing jurusan. Ini terlihat jelas dari kurikulum yang dimiliki oleh tiap jurusan. Misalnya pada jurusan Kimia, fokus konsepdiperdalam dengan adanya cabang-cabang seperti Kimia Analitik, Kimia Organik, Kimia Anorganik, dan Biokimia yang setiap cabangnya terdiri lagi dari berbagai spesifikasi. Begitu pula dengan jurusan yang lainnya.

Kefokusan paa ilmu dasar/murni yang dipelajari, membuat masyarakat berpikir bahwa MIPA adalah fakultas yang miskin dengan prospek dan prospek kerja. Sudah sangat berakar pola pikir dan anggapan bahwa lulusan MIPA hanya memiliki dua pilihan, ilmuwan atau guru. Ini disebabkan yang mereka pelajari hanyalah ilmu dasar dan kalaupun mereka bekerja di dunia perindustrian, mereka hanyalah konseptor penghuni laboratorium. Masalah penghasilan yang rendah pun turut menjadi bagian dari paradigma yang berkembang.

Padahal bila kita mengkaji lebih dalam lagi, kita akan menemukan fakta bahwa MIPA adalah ibu dari segala jurusan berbau sains. MIPA dapat pula diibaratkan sebagai akar dari sebuah pohon masa depan. Kalau kita sudah menjadi akar, bukankah kita akan punya banyak kesempatan untuk menumbuhkan jutaan cabang dalam mengembangkannya? Apalagi, di fakultas tersebut, para peserta didik akan diberikan penanaman pola pikir yang tidak diberikan di fakultas lain. Pola pikir yang berbeda dan berorientasi pada hal pasti akan menumbuhkan cabang-cabang yang kekar dan dinamis. Ketika sebuah pohon memiliki akar yang kuat, mau jadi pohon raksasa pun tidak masalah. Ini mengindikasikan bahwa visi menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar kemajuan bangsa akan tercapai dengan mudah bila para insan yang menghuni bangsa tersebut memiliki ilmu dasar yang kuat. Ini menunjukkan bahwa jurusan MIPA pun memiliki prospek yang luas.

Para lulusan MIPA pun memiliki banyak kesempatan untuk merangkul berbagai profesi. Industri perminyakan dan pertambangan yang dianggap sebagai lapangan kerja penuh untuk teknik, ternyata membutuhkan jasa ahli Kimia, Fisika, Biologi, dan Matematika dalam jumlah yang relatif banyak. Perkembangan teknologi yang dinamis membuat dunia perindustrian mencari berbagai cabang baru mengenai proses dan analisis metode produksi dari gabungan tenaga MIPA maupun teknik.

Negara Indonesia yang merupakan negara berkembang, membutuhkan pribadi-pribadi yang mandiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila orientasi para mahasiswa bukanlah bekerja, tapi menciptakan lapangan kerja. Para lulusan MIPA yang memang memiliki bakat sebagai konseptor, dapat membuat dan menciptakan inovasi baru untuk proyek-proyek pembangunan di segala bidang/sektor, seperti sektor pangan, kesehatan, teknologi komputer, dan konversi energi. Tentu saja ini akan menyerap banyak tenaga kerja.

Kita pun dapat melihat salah satu contoh sosok sukses hasil didikan Fakultas MIPA, yaitu Profesor Yohanes Surya. Beliau berhasil membawa Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional tahun 2006. Kini, beliau merangkap banyak profesi sebagai ilmuwan, motivator, dosen, penulis, dan pengembang industri.

MIPA memang hanya berorientasi pada ilmu dasar secara mendalam, tetapi kreativitas dan pola pikir yang diterapkan secara baik akan menjadikan insan-insan MIPA sebagai insan-insan produktif yang tidak bergantung penuh kepada institusi/pemerintah dalam berkarya. Ini adalah jalan terbaik untuk menciptakan propek yang baik pula bagi lulusan MIPA dan tidak menutup kemungkinan bagi lulusan dari jurusan lain.

Kamis, 20 Mei 2010

Biarkan Kebosanan bosan mengejarmu

pernah merasa bosan di jalan dakwah?
pernah merasa lelah di jalan dakwah?
pulang sore,bahkan maghrib,
cuma buat ngurusin rohis atau semacamnya?

di bawah ini ana dapet tausiyah,dari alm.Ust. Rahmat Abdullah(kakek ana,hha,ngarep)

baca yaaa...


Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu.


Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yg kau cintai.


Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.


Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.


Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.


Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.


Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.


Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.


Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.


Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.


Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..


Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya

besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari…


“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.

Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

ALLAHUAKABAR!!!

ALLAHUAKBAR!!!
ALLAHUAKBAR!!!

HAMASAH UKH,AKH!!!!

MIPA, Jurusan yang Merancang Ilmuwan Share

Posted by Joevarian in Math & Natural Sciences, The Words.


Suatu ketika terjadilah percakapan antara orang tua dan anaknya.


Orangtua: “Arya, kamu nanti kuliah masuk di jurusan hukum ya?”


Anak: “Tapi, Arya kan mau jadi peneliti. Ya Arya harus ngambil jurusan fisika donk ma…”


Orangtua: “Aduuuuh… Ngapain kamu ngambil jurusan fisika? Mau jadi apa kamu? Jadi guru? Mau makan apa kamu? Udah deh sekarang tuh kita ngeliat yang pasti2 aja. Hukum tuh udah jelas pekerjaannya. Nanti kamu juga bisa jadi pengacara di kantor papa dan mama.”


Anak: “Tapi ma… Arya kan tertarik sama teorinya Heisenberg. Arya juga gk suka ngapalin UUD ma… Arya ogah masuk jurusan hukum.”


Orangtua: “Dibilangin kok susah sih! Ini kan demi kebaikan kamu juga.”


Anak: Yaudah deh ma…”


Percakapan diatas adalah percakapan yang seringkali kita saksikan terutama pada anak-anak yang bingung memilih jurusan mereka kelak di bangku kuliah. Banyak anak yang pada akhirnya tidak betah di jurusan yang mereka pilih hanya karena ikut-ikutan teman, desakan orangtua, atau pengetahuan yang salah. Nyatanya di Indonesia banyak sekali kecenderungan orang-orang yang beranggapan bahwa kuliah haruslah memiliki prospek kedepan yang cerah. Padahal tujuan kuliah bukanlah untuk mencari pekerjaan, tetapi untuk berkarya. Kasus Arya diatas merupakan satu dari sekian kasus yang sering terjadi di Indonesia. Banyak anak yang atas karena desakan seperti ini justru malah mengikuti desakan orangtuanya. Akibatnya, bukannya enjoy kuliah justru yang ada malah tekanan batin. Dan sang anak pun menjadi anak yang malas kuliah. Ada baiknya kita hapus anggapan bahwa kuliah yang bagus itu adalah kuliah di jurusan favorit.


Jurusan kedokteran atau kedokteran gigi adalah jurusan elit yang memberikan jaminan kaya. Kaya materi tentu saja, karena kalau kita pikir, salary seorang dokter itu perharinya bisa mencapai jutaan rupiah. Ditambah lagi lulusan kedokteran masih sangat dibutuhkan di Indonesia. Jurusan ini menjadi incaran sebagian besar lulusan SMA. Jurusan ekonomi dan bisnis juga demikian. Akuntansi dan ekonomi lulusannya akan diincar dimana-mana. Jurusan ini akan selalu booming karena memang jurusan yang gampang mencari kerja. Ada lagi jurusan teknik, yang pasti akan selalu dipakai di dunia industri. Teknik termasuk jurusan yang diincar banyak orang karena salarynya yang besar. Hukum pun juga demikian. Lulusan hukum hampir bisa bekerja dimana2. Akan tetapi bagaimana dengan jurusan yang tidak favorit seperti MIPA, pertanian, kehutanan, filsafat, budaya? Daripada ngambil jurusan kayak gitu lebih baik berhenti sekolah sekalian. Ngapain? Kerjanya juga gak ada… Inilah anggapan yang beredar di masyarakat. Kerja, kerja, dan kerja… Hanya itulah fungsi kuliah di sini.


Padahal kalau saja orientasi kuliah untuk bekerja ini dihapus, kita bisa katakan segala jurusan memiliki prospek yang bagus. Saya mengatakan prospek, bukan prospek kerja. Sekali lagi saya katakan, kuliah adalah untuk berkarya. Bukan bekerja. Coba saja kita tengok negara-negara maju. Jurusan Ilmu Alam (Natural Sciences) lulusannya akan dipakai di dunia penelitian sebagai ilmuwan dan hasil riset mereka dapat digunakan untuk perkembangan negara. Jurusan Filsafat juga merupakan jurusan yang bisa dibilang elit diluar negeri karena lulusannya bisa berkontribusi untuk kemajuan peradaban dunia. Jurusan Sastra? Negara lain sangat menjunjung tinggi sastra negara mereka sendiri. Tidak seperti kita yang ogah mempelajari Sastra Indonesia atau Sastra Daerah. Pada intinya sebenarnya jurusan-jurusan yang saya sebutkan diatas memang kurang begitu bisa diterima di dunia komersial atau industri, akan tetapi lebih dari itu, jurusan-jurusan diatas bisa menjadi jurusan yang melahirkan para ilmuwan-ilmuwan besar dan bisa berkontribusi di masyarakat.


Bukankah banyak kita lihat para ilmuwan seperti Albert Einstein, Madame Curie, Antoinne Lavoisier, atau bahkan Yohanes Surya lahir dari fakultas MIPA? Sering sekali anggapan masyarakat keliru soal jurusan ini. MIPA dianggap sebagai jurusan yang mendidik guru atau dosen sehingga lulusannya pun sudah dapat dipastikan bakal menjadi guru atau dosen. Memang sih, jurusan-jurusan seperti matematika dan kimia banyak diserap di dunia perkantoran dan industri, akan tetapi coba lihat jurusan fisika, geografi, atau biologi? Lulusannya susah sekali mencari kerja. Dalam hal ini sebenarnya mereka bisa berkontribusi menjadi peneliti atau mencoba eksperimen baru. Diluar negeri dapat dipastikan lulusan jurusan2 ini akan menjadi ilmuwan. Akan tetapi kembali lagi, di Indonesia sulit untuk bergerak di bidang ini. Hampir tidak ada yayasan yang mau membiayai para peneliti di Indonesia. Walhasil, mereka malah justru dicaplok negara lain. Otak mereka diserap oleh negara lain untuk kepentingan negara itu. Kalau saja kita bisa mencontoh China yang setelah mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk sekolah dan menjadi ilmuwan, mereka memulangkan anak-anak tersebut ke negara asalnya (China) untuk membangun negara. Hasilnya? China telah menjadi negara raksasa sekarang ini berkat para ilmuwan itu. Kenapa Indonesia tidak bisa mencontoh negara China seperti itu?


Yaah, secara keseluruhan, yang ingin saya coba sampaikan adalah kuliah di MIPA bukan berarti kuliah untuk menjadi guru (menjadi guru pun tidak masalah sebenarnya karena guru adalah pekerjaan mulia). Kuliah di MIPA adalah untuk menjadi peneliti agar lulusannya bisa berkontribusi untuk kemajuan masa depan. Guru memiliki jalurnya sendiri di jurusan Ilmu Pendidikan, sementara jalur MIPA adalah menjadi ilmuwan yang bekerja di laboratorium. Oleh karena itu, janganlah takut mengambil jurusan MIPA. JIka memang tujuan kalian adalah menjadi peneliti, maka pilihlah MIPA. Jangan malu kuliah di MIPA hanya karena tidak memberikan prospek “kerja”. Banggalah kuliah di MIPA karena di MIPA-lah para ilmuwan terbesar lahir. Karena MIPA-lah kita bisa merasakan perkembangan dunia yang dirangkai oleh para ilmuwan.

I love MIPA :)

Selasa, 18 Mei 2010

Salat yang menjauhkan Allah

"ALI Zainal Abidin, cucu Rasululah Saw konon pernah menangis ketika sedang mengambil wudhuk. Ketika ditanya mengapa beliau menangis, anak Fathimah itu berkata, 'Tahukahkau sebentar lagi aku akan berdiri di hadapan siapa?'

Beliau sadar bahwa salat adalah berdiri di hadapan Allah Swt. Tapi benarkah ada salat yang justru menjauhkan pelakunya dari Allah?" tanya salah seorang murid kepada Abu Qubaisy ketika guru besar itu menyilakan para muridnya mengajukan topik atau masalah yang mereka inginkan dibahas bersama di majelis taklim sore itu.

"Sebuah pertanyaan yang cerdas dan menarik," komentar mahaguru yang arif itu sebelum menjawab pertanyaan si murid.

"Dalam salah satu hadisnya Rasulullah Saw pernah bersabda, 'Bilamana salat seseorang tidak mencegahnya dari kemungkaran, maka salatnya itu tidak menambah sesuatu, kecuali akan menjauhkannya dari Allah Swt.'

Dalam hadisnya yang lain beliau berkata bahwa pada Hari Kiamat kelak akan ada orang yang membawa dan mempersembahkan salatnya ke hadapan Allah Swt. Lalu Allah melipat-lipat salat itu seperti melipat pakaian kotor dan dicampakkan ke wajah orang yang mempersembahkan salat tersebut.

Salat yang tidak mencegah seseorang dari perbuatan mungkar dan salat yang dicampakkan Allah Swt kepada pelakunya adalah bukti bahwa ada salat yang justru menjauhkan pelakunya dari Allah Swt."

"Bagaimanakah salat harus dikerjakan agar tidak justru menjauhkan kita dari Allah Swt. Dan membuat Allah murka sehingga salat persembahan kita dicampakkan ke muka kita sendiri?" tanya murid lain memotong kalimat mahaguru yang mereka segani dan hormati itu.

"Lakukanlah sebagaimana Ali Zainal Abidin berwudhuk, yakni seakan-akan kita melihat Dia. Setidak-tidaknya kita yakin benar bahwa Allah Yang Maha Melihat itu sedang memperhatikan kita. Dan di luar salat, berprilakulah sesuai dengan apa yang kita ikrarkan dalam salat, bahwa apa pun yang kita lakukan dan tidak kita lakukan, semata-mata karena Allah belaka. Dan terutama jangan menyekutukan Dia," jelas Abu Qubaisy seraya menutup majelis taklimnya karena telah masuk Maghrib.

Para muridnya pun menanggapi dengan anggukan kepala tanda mengerti.*